Cerpen: Rumah Idaman Sang Kakek

       Kringg.. Kringg.. suara sepeda ontel melaju cepat, menandakan pengembaraan kami dimulai. Disebuah desa nan indah dipelosok Bali, ya Bali.Disini kampung melayu asli bali yang mayoritas muslim tapi menjadi minoritas di bali. Disinilah tempat kami tinggal, kami hidup berdampingan bersama yang lainya. Toleransi sangat dijunjung tinggi disini. Kami saling membantu, saling menolong satu sama lain. Kami tak memandang ras,suku, ataupun agama oh.. indahnya toleransi. Aku biasa memulai petualanganku bersama teman-temanku kepesisir pantai, suara ombak begitu kerasnya menghantam batu karang, hembusan angin yang sayup-sayup seolah-olah mengajak kami untuk bermain denganya.. kami berlima si Amat, Faraz, Edo, Mamat, dan aku  Arif. Kami sangat senang bermain disini, disinilah syurganya anak-anak kampung seperti kami, dengan alat seadanya kami sudah menyiapkan umpan yang kami dapatkan dikebon dekat desa. Ya kami sibocah bau kencur ini, memang suka memancing.. apalagi si Faraz dia paling ahli dalam hal ini, dia selalu menang banyak dari kami, “Allahu Akbar..Allahu Akbar..” suara  Adzan masjid berdengung lantang. “Woy kawan-kawan, masjid dah mebunyi, lekasi pulang, pulangan dah besok lagi ye”.(1) Suara Amat  mengingatkan kami, hari sudah sore kami bergegas pulang.          

       Inilah desa kami “Loloan” desa yang indah  nan damai  yang ditengah-tengahnya dialiri sungai yang jernih. Loloan adalah nama desa yang berada di kabupaten Jembrana Provinsi Bali, terpisah oleh sebuah sungai yang disebut sungai Ijo Gading menjadi dua desa, Loloan Barat dan Loloan Timur, dan dihubungkan oleh sebuah  jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua. Loloan memiliki bahasa sendiri yang tidak sama dengan bahasa wilayah-wilayah di sekitarnya, bukan bahasa Bali, bahasa Jawa, atau pun  lainnya. Tapi bahasa kampung Loloan (Base Loloan) yang mirip dengan bahasa melayu.

          “Assalamualaikum, emak arif pulang.. ni ikan boleh mancing busan”  kataku.(2)“Waalaikumsalam, ye rif tarok di meje sane tu. Cepeti mandi ngaji sane”. sahut ibu ku.(3)“ye mak”.(4)     Hari-hariku biasa saja seperti anak-anak kampung lainya, sore ini aku biasa mengaji di musholla bersama teman-temanku, inilah musholla kami. Musholla persegi empat seperti rumah panggung khas melayu, disanggah kayu yang kuat, dinding-dinding tua yang telah rapuh namun masih layak untuk digunakan beribadah, walaupun penampilan kami agak kumal, dan sedikit sangar tapi kami tidak pernah lupa untuk beribadah kepada Allah SWT, karena itu kewajiban kami sebagai manusia.“Shodaqallahul Adzim.. kite lanjutken lagi pengajian ni besok sore disini ye, mudah-mudahan pengajian karangini mendapat barokah Allah.. Amin Yarabbal Alamin”. sahut ustadzku, Ust. Rifai.(5) Hanya dialah pengurus Musholla ini, Penampilan paruh bayanya yang digerayangi berbagai penyakit tak bisa ditutupi lagi, ya jelaslah mushalla ini tak terurus lagi jika hanya ustad Rifai saja yang turun tangan bertanggung jawab pada mushalla ini, raut wajahnya yang tua, sakit-sakitan, hidup sebatang kara. Hanya hidup untuk mengabdi kepada Allah saja. Menghabiskan waktunya hanya dimushalla, terkadang ia pun mendapat makanan dari tetangga yang iba padanya, rumahnya tak jauh dari mushalla maka ia pun dapat pergi kemushalla kapan saja.         

      Malam itu, ditengah dinginya malam tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara yang menyeramkan, ganasnya angin membantai desa kami, disaat lelapnya warga tertidur.. badai angin datang bak syetan yang mengamuk ditengah malam, mepora-porandakan desa kami tanpa rasa iba sedikitpun. Wargapun panik dan hanya bisa berkumpul dirumah kepala desa setidaknya ini tempat perlindungan terakhir bagi kami, yang kami rasa cukup aman.“Brruakk.. tiba-tiba kami dikejutkan dengan  tumbangnya pohon besar tepat didepan rumah kepala desa. Kami semua berteriak ketakutan, tak ada seorangpun yang berani tidur, semua orang diselimuti ketakutan, isak tangis anak-anak yang ketakutan, kami hanya bisa memohon agar Allah meredekan hujan itu. 

       Beberapa jam kemudian badai angin mulai reda , sebagian warga keluar melihat kondisi sekitar. Lalu kami membersihkan desa sekitar dengan seadanya dan kami lanjutkan keesokan harinya. Alhamdulillah desa kami tidak terlalu parah hanya genteng  yang berjatuhan dan pepohonan yang tumbang, kami sangat beruntung tak ada satupun korban jiwa hanya saja sampah-sampah berserakan dimana-mana. Dengan penuh penasaran ku telusuri jalan-jalan dengan ontelku ini, kulihat diujung sebrang sana, berdiri rapuh seorang kakek tua renta menatap kebawah, lalu bergegas aku kesana, bukankah itu Ustad Rifai? Ya itu ustad Rifai.. ada apa ini ? mataku terbelalak melihat keadaan sekitar, betapa terkejutnya aku, aku tak menyadari pohon besar yang tumbang itu tepat mengenai bangunan Mushalla  Kakek tua itu, kakek itu menangis sejadi-jadinya, hilanglah dunianya, hilanglah harapanya, tempat terindahhnya, penopang hidupnya, penyemangat jiwanya, tujuan hidupnya. 

       Tapi kini usailah sudah, tak ada lagi kehidupan. Tempat idamanya hancur tak bersisa, Aaaaaa! Apa-apaan ini, siapa yang tega melakukan hal setega ini. aku berkata dalam hatiku “betapa biadabnya kau angin, betapa teganya kau mengahancurkan mushalla milik kakek tua itu, mengapa kau menghancurkanya, tegakah kau menyakiti hati seorang kesayangan Allah, itu rumah terindah baginya, kenapa kau menghancurkanya !!” Bhatinku berteriak  penuh amarah.“Astaghfirullah.. apa yang aku pikirkan, ini kehendak Allah tak ada yang bisa mengelaknya”. Tiba-tiba air mataku mengalir, seperti merasakan penderitaan yang dialami ustadku itu. Matahari mulai menyingsing diatas langit, para relawan banyak berdatangan. mereka memberi bantuan berupa tenaga ataupun kebutuhan lainya.. Hatiku lega dan senang setidaknya dapat mengurangi penderitaan desa kami.          

        Tetapi apa yang terjadi ? kondisi mushalla ustad Rifai  sangat memperihatinkan. Mataku terbelalak melihat kondisi musholla yang hancur dan masih tertimpa pohon itu, aku terheran-heran tak adakah seorang relawan yang peduli akan kondisi musholla kakek tua itu, pohon itu dengan nyenyaknya tidur pulas diatas bangunan mushalla itu, zaman ini memang gila. Mereka dengan semangatnya membantu rumah-rumah warga tetapi mengapa tak ada yang membantu tempat peribadahan, lupakah mereka akan pentingnya tenpat peribadahan itu. Tak adakah yang meratapi kesedihan  kakek itu,  Kami tidak habis pikir dengan orang-orang ini.          

       Kami berlima tak ambil pusing atas reaksi warga sekitar, kami berlima si bocah bau kencur yang kumal namun berjiwa kesatria dan pembrani ini, dengan semangatnya mengangkat pohon besar yang menurut akal memang tak mungkin bisa diangkat, suara kami menggeletarkan penjuru desa, sehingga warga dan beberapa relawan tersontak mendengar jeritan semangat kami ini.  kami bersyukur upaya kami membuahkan hasil, para wargapun iba terhadap kami, dan akhirnya berduyun-duyun berdatangan membantu kami. “satu.. dua.. tiga..” bruaakkk.. horee.. pohon berhasil kami pindahkan, memindahkan pohon ini, seperti kemenangan besar bagi kami, tak sia-sia keringat kami cucurkan, karena nampak jelas senyum haru kakek tua itu, lalu ia pun tersungkur dan bersujud .. bersyukur .. ia merasa ada kehidupan baru, ia bisa mengisi hari-harinya dengan bahagia. Ia pun memeluk kami sambil menangis seolah-olah menaruh harapan besar pada kami si bocah kencur ini, akan membangun mushalla itu lagi, kami pun tak ingin membuatnya kecewa.kami tak ingin raut wajah yang tua renta itu deselimuti kesedihan lagi, Kami pun menyisihkan puing-puing yang tak layak pakai lagi, dan menggunakan kayu yang layak untuk membangun mushalla itu, relawanpun berdatangan membantu tenaganya dan memberi bahan-bahan bangunan untuk membangun mushalla. hari demi hari berlalu, teriknya panas tak mematahkan semangat warga membangun mushalla itu. begitu juga dengan kami semangat kami menggelora.. api ini membara demi kakek tua itu,  berkat bantuan warga sekitar , akhirnya berdirilah bangunan mushalla dengan gagahnya. Tampak lebih baik dari sebelumnya kakek tua itupun tak tahan melepas air mata bahagianya, harta terbesarnya berdiri kokoh dihadapanya, seakan-akan hidupnya pun kembali menaruh harapan padanya. 

(1).”woy teman-teman, masjid sudah berbunyi, ayo cepat pulang, besok kita lanjutkan lagi ya”.
(2).”Assalamualaikum, Ibu Arif pulang, ini ikan dapat mincing tadi”.kataku.(3).”Waalaikumsalam, iya taruh saja dimeja sana. Cepatlah mandi sana ini waktunya mengaji”. Kata Ibuku.
(4).”iya Ibu”.
(5).”Shadaqallahul Adzim, kita lanjutkan pengajian hari ini besok sore disini ya.. mudah-mudahan pengajian hari ini mendapat berkah Allah. Amin Ya Rabbal Alamin”. Sahut Ustadku.

Penulis: Muhammad Dzikrullah

Travel and Culinary Blogger, Copywriter, and Arabic Teacher.

18 thoughts on “Cerpen: Rumah Idaman Sang Kakek”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version