Pernahkah kalian merasa ? Dikala senja menyapa, dikala mentari menyungging senyumnya dan ketika burung-burung berkicau dengan nyaringnya. Betapa indahnya bukan? Tentu .. tapi sayangnya tak pernah kurasakan hal seperti itu lagi, tak ada sapaan apapun disore hari, tak ada senyuman apapun dipagi hari, dan tak ada kicauan apapun di manapun aku berada. Yang ada hanyalah kebisingan kendaraan-kendaraan, serdadu asap yang menusuk hidung dan orang-orang yang haus akan keduniawian mereka.
Matahari pun tak mau kalah akan sinarnya, menyinari langkahku berjalan disepanjang jalan kota, panas, sumpek, polusi, dan kebisingan kendaraan yang ku tau. Ya disinilah aku, dikota tempat dimana orang-orang berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam-malam sekali, dimana yang tampak hanya wajah kusamnya dan langkah kakinya yang penuh kemalasan, mereka tak peduli satu sama lainya, menjunjung tinggi individualisme dan keangkuhan mereka masing-masing. Oh aku tersesat ditempat orang-orang angkuh. Aku berjalan di sepanjang jalan. Hari pun makin terik, tak sengaja mataku terarah oleh seorang nenek diseberang jalan, nenek tua renta, berpakaian lusuh yang sobek tak layak pakai, sungguh mengenaskan keadaan nenek itu. Kulihat nenek itu bersusah payah untuk menyeberang jalan, tak ada kah yang membantunya ? aku melihat orang-orang disekitar nenek itu, sungguh banyak orang-orang yang berlalu lalang disekitar nenek itu, tapi tak adakah satupun yang menolong nenek itu? Apa-apaan mereka itu.. apa yang mereka lakukan, tak ada kah satu pun yang iba padanya? Yaa kehidupan orang kota sungguh ironis bagiku. Mereka tak peduli apapun kecuali diri mereka sendiri.
Tanpa berfikir panjang aku langsung menghampiri nenek tua itu,
‘’Halo nek, ada yang bisa saya bantu ?”. tanyaku dengan ramah.
‘’iya nak, nenek mau menyeberang, tapi nenek takut.. kendaraan selalu ramai nak”. Lirih nenek tua renta itu.
‘’baik nek, mari kita ke seberang jalan sama-sama, pegang tangan saya ya nek, hati-hati jangan sampe lepas’’. ajakku terhadap nenek tersebut.
‘’Terima kasih ya nak, kamu baik sekali .. seandainya orang-orang disini sepertimu, betapa indahnya negeri ini’’. Jawab nenek penuh berterima kasih.
‘’iya nek, saya juga berharap seperti itu.”
Itulah nek idah, hidup di kehingar bingaran kota metropolitan penuh rintangan dan cobaan, tiap kerutan wajahnya berlukiskan sejarah, sejarah duka, kelam dan bahagia mencampur aduk menjadi satu. Nek idah berasal dari desanya yang indah, pergi ke kota bersama suaminya bermodalkan seratus ribu hanya cukup dua hari, niat hati ingin memperbaiki kondisi ekonomi, namun apa daya seminggu ia tinggal di kota, suaminya pun meninggal akibat kecelekaan yang merenggut nyawa suaminya itu dan kini ia hidup sebatang kara, tak punya sanak saudara di kota, dan tak punya sepeser uangpun untuk pulang ke kampung halaman, sungguh malang nasibmu nek, kau terlalu tua untuk merasakan penderitaan ini, seharusnya kau merasakan kehangatan dan kenyamanan keluarga di penghujung peristirahatanmu ini.
Lihatlah kawan, kota tak semenggiurkan seperti apa yang kau bayangkan. Kau tak tau kekejaman kota yang akan kau hadapi jika kau tak punya mental yang kuat. Matahari telah berlabuh di ufuk barat, hari semakin larut lalu aku bergegas pulang kerumah, apa.. Rumah ? tidak ! bagiku ini bukan rumah dan yang disebelah kiri dan kanan ku ini pun bukan rumah, ini hanyalah tempat peristirahatan semata, tidak lebih. Percuma rumah berkeramik dan bertingkat-tinkat tapi kau hanya beristirahat saja didalamnya. Ya mereka berangkat pagi-pagi sekali dan pulangnya pun malam-malam sekali. Jadi bukankah rumah itu hanyalah sebatas tempat peristirahatan saja?
“Oh desaku … desa yang asri nan indah, dikala pagi datang, mentari pun tersenyum dengan selebar-lebarnya, dikala sore datang, senja pun menyapa dengan aduhainya, dikala burung-burung bercengkrama alunan melodi alam pun terdengar dengan indahnya.. Oh desaaku.. desaku yang indah, desaku yang damai, desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, desa yang tentram penuh rasa cinta, jalinan kasih yang kami junjung tinggi demi kebersamaan.. oh desaaku.. desa yang indah.. “. Disanalah tempatku desa yang penuh kedamaian, terhindar dari kegilaan metropolitan keduniawian. Ah itu khayalan saja, apa yang bisa ku perbuat.. aku sudah menjadi korban kenistaan metropolitan. Aku hanya bisa menjalaninya walau penuh dengan penderitaan.
Ini berawal dari laki-laki biadab itu, wajahnya yang sangar itu pun tak dapat menutupi kebiadabnya, dia sungguh biadab.. kami dulu hidup dengan tentramnya didesa dengan ibuku, kami tak peduli akan sesuap nasi yang kami makan, tapi kami sangat peduli akan kebersamaan dan kebahagiaan. Apalah arti sesuap nasi jika dipenuhi rasa kesedihan. pada saat itu datang laki-laki itu, ya belagak kaya.. menawarkan segala-galanya untuk kami, mengajak kami ke kota menawarkan kekayaan-kekayaan fana yang penuh akan kedustaan. Sungguh kami pun tak mau pindah sejengkalpun dari rumah ini, ini rumah kami, tempat tinggal kami, tak ada yang boleh merebutnya dari kami. kami tau laki-laki sangar itu geram.. kami pun tak peduli.
Tapi suatu ketika datang kepada kami sosok laki-laki kebanggaan desa kami, walau lulusan SD tapi kami warga desa sangat bangga padanya, karena keberanianya membela kebutuhan rakyat kecil seperti kami. Pak somad yakni kepala desa kami datang dengan secarik kertas putih yang bertorehkan abjad-abjad romawi, ya kami warga desa pegunungan, hanya mengenal sayur bayam dan sayur hijau, kami tak pernah mengenal sedikit pun tentang abjad-abjad itu. Ia berkata ini adalah surat kepemilikan rumah kalian, kalian harus menandatangi surat ini kemudian rumah ini resmi menjadi rumah kalian dan tak ada satupun orang yang bisa merebutnya lagi. Mendengar hal itu kami pun bahagia tiada terkira,oh pak kepala desa yang kami banggakan, beginilah kehidupan kami saling membantu sama lain demi kebahagiaan dan kebersamaan.
Tetapi keesokan harinya datang laki-laki berwajah sangar dengan ajudanya yang kasar itu,
“hey kau minah ! cepat ikut aku, kemaskan barang-barangmu sekarang !’’
“apa apaan ini apa yang kau lakukan, keluar sekarang! Rumah ini sudah menjadi tanah resmi milik kami, kau tak punya sejengkal pun hak memiliki tanah kami.’’
‘’Hahaha.. ! dasar bodoh kau, itu bukan bukan surat kepemilikan tanah, itu adalah surat jual beli tanah dengan bosmu itu, dasar manusia… dengan harta, kebersamaan pun dilupakan.. hahaha dasar kau tak tau apa-apa”
Aku terkejut mendengar hal itu, sungguh teganya pak somad yang kami banggakan itu membohongiku dan ibuku, mengapa ia tega menjual tanah ini, ini harta satu-satunya peninggalan kami.. tak ingatkah ia mendiang ayahku memberi amanah untuk menjaga kami dengan aman, tapi apa ? dan mengapa? Ah ia tak ayalnya laki-laki sangar itu, teganya ia menjual harga diri desa kami dengan uang yang tak bernilai itu? Namun apa yang bisa kami perbuat , kami tak berdaya kemana lagi kami melangkah, hingga akhirnya laki-laki itu memaksa kami ikut denganya, pada saat itu aku merasakan akulah korban kegilaan metropilatan selanjutnya dan hingga saat ini pun aku masih merasakanya. Hidup di kota, apa yang patut dibanggakan ? tidak ada sama sekali.. aku yakin kalian yang hidup dengan damai didaerah kalian pun tak ingin merasakanya.
Namun kini ibuku pun mulai menjauh dariku, ia termakan oleh janji-janji dusta laki-laki itu dan tak ada waktu untuku walau semenitpun dalam sehari, ibuku yang kucinta sedari dulu perlahan-lahan meninggalkanku hanya untuk harta-harta nista itu. Oh ibu, aku tak betah berada di tempat ini, bawalah aku kembali ke desa ibu.. lirih hatiku penuh harapan. Ya sayangnya itu tak akan pernah terjadi , bualan lelaki sangar itu telah menguasai ibuku, lalu apa dayaku .. ibu aku tak membencimu tapi berilah aku perhatian sedikitpun darimu. Ibu andaikan kau tau apa yang kurasakan apa yang ku inginkan.. oh tidak ! kau pasti tidak tau.. hiduplah bahagia dengan laki-laki hina itu, aku tak peduli. Sekali lagi aku tak peduli.
Oh ternyata dugaanku salah, ibuku tak seperti yang kubayangkan, tanpa kusadari ternyata ibuku menyayangiku lebih dari apa yang aku ketahui. Namun apa daya kami tak pernah bertemu. Ibuku pagi sekali sudah brangkat ketempat bekerjanya. Namun ia pun tak lupa untuk kekamarku, melihatku tertidur lelap, duduk disampingku, mengelus rambutku penuh kasih sayang, menangisi dirinya yang tak bisa menjadi ibu terbaik didunia ini untuk anaknya. Dan dikala aku terbangun semua itu tak ada, ibuku telah pergi dengan alat-alat pekerjaanya itu. Dan begitu juga dimalam hari ibuku datang malam sekali, dan tentunya ia pun tak lupa melihatku ke kamar, ia melihat kamarku yang berantakan, ia tak lupa membersihknya dan merapikan meja ku, dan ketika melihat ku tertidur di atas kursi belajarku, ia pun langsung menyelimuti ku dengan selimut terindah dan terhangat didunia. namun apa daya, aku tak merasakan semua itu, kau melakukanya tatkala ku terlelap dikeheningan malam, yang ku tau hanyalah itu tugas pembantuku yang malas dan sedikitpun tiada keikhlasan di hatinya dalam bekerja. Oh ibu betapa kau menyayangiku, tapi sayang aku tak merasakanya dikala aku terbangun.
Hingga suatu saat, waktu itu pukul Sembilan pagi, akupun asik dengan dunia mayaku, namun tiba-tiba laki-laki biadab itu mendobrak pintu kamarku dengan kasarnya, membuatku terkejut olehnya, sungguh kasarnya.. mengeluarkan sumpah serapahnya, melihatku dengan penuh rasa amarah dan penuh dendam. Aku tak tau apa yang telah ku perbuat, apapun yang ku perbuat memang selalu salah di matanya. Dia menarik lenganku dengan kasarnya, menyeretku tanpa rasa iba sedikitpun.. aku membrontak.. terjadi insiden tarik menarik sejenak, namun apa daya tubuhnya yang besar berhasil menyeretku.
“Dasar kau anak tak tau di untung, cepat ikut aku.. sekarang !”
“Tidak ! jangan sentuh aku, kau sungguh menjijikan, apa yang kau lakukan.. lepaskan aku,! Dasar kau lelaki hina, pergi kau jangan kau ganggu aku .. dasar kau laki-laki biadab, hidupmu tak lebih hanyalah penuh pendirataan, penuh kesedihan, sungguh menjijikan”.
“Apa kau bilang ? katakana itu sekali lagi, cepat kau katakan.. aku bunuh kau sekarang,,”
Gertakanya membuatku sedikit agak ketakutan, aku terdiam.. dikala ada kesempatan,, aku langsung membrontak dan lari secepat-cepatnya, dan lelaki itu pun mengejarku .. insiden kejar-kejaran pun terjadi.. ketika aku sudah sampai gerbang rumah, aku melihat ibuku nampaknya baru datang, namun aku tak menghiraukanya .. yang ku tau dia tak peduli padaku,
“Nak, mau pergi kemana kau ?” Tanya ibuku.
Aku tak mempedulikanya, aku lari sekencang-kencangnya menjauh dari lelaki sangar itu, nafsu membunuhnya sangat tinggi, tujuanku hanya satu , aku lansung berlari menuju terminal kota, aku memutuskan ke desa kampong halamanku, disana keindahan dan kenikmatan dunia yang sesungguhnya akan kurasakan, tidak di kota ini ataupun rumah, lalu bagaimana dengan ibuku, ya biarlah dia, apa pedulinya ? yang ku tau dia tidak pernah mempedulikanku.
Seratus meter lagi aku sampai, ada bis menungguku dseberang jalan, aku siap untuk meninggalkan kenistaan kota metropolitan ini, namun terdengar samar-samar dari kejauhan.
“anakku, tunggu nak ! jangan pergi.. “
Ternyata ibuku, aku pun tak mempedulikanya, apa haknya melarangku.. aku tetap melangkah dan sebentar lagi aku sampai di bus itu, akhirnya keindahan dunia yang sesungguhnya akan ku rasakan . namun aku mendengar teriakan samar-samar itu lagi.
“Anakku jangan pergi, Ibu sayang pada ………”
“Bruaaaakkkkkkk! “
Sekali lagi, ke egoanku tak peduli akan teriakan itu, yang aku inginkan adalah hidup dengan tenang dan damai di kampong halaman, lalu pada saat menapaki tangga pertama bus itu, aku tak sengaja melirik kebelakang.
Namun tak kudapati ibu yang memanggilku tadi, aku mecari-cari dimana ibuku tadi, dan pada saat ku melihat tepat dibelakangku kulihat mobil hancur menabrak tiang listrik, aku melihat sekrumunan orang disekitarnya. Aku terkejut bukan main, jantungku retak, seolah-olah berhenti berdetak, nafasku seolah-olah berhenti, hidupku serasa tak ada artinya lagi. Apakah itu ibu ? pikiran itu sangat membuatku sangat takut. Dan kulihat di sela-sela kerumunan orang, iya itu Ibu ku.
“Ibuuuuuuuu..!!! tidaakk !” hentakan kaki yang lemas dan putus asa aku berlari ke ibu dan menangis sejadi-jadinya.
“Ibu jangan tinggalkan aku, ibu bangunlah bu.. ibu aku tak punya siapa lagi selain dirimu, bangunlah bu.. maafkan anakmu yang bejat ini, Ibu bangunlaah.. aku tak punya siapa lagi untuk kuperjuangkan. Ibu bangunlah” . teriakanku penuh isak tangis, apa yang kau lakukan Aji, dirimu tidak berguna, kau sungguh manusia hina, melebihi lelaki hina itu, kau lah manusia paling hina, dan menjijikan itu, kau lihat apa yang kau lakukan pada ibumu.. kau lah orang hina itu, bukan lelaki sangar itu atau siapapun. Aku menangis sejadi-jadinya.. aku menangisi ibuku dan memaksa ibu untuk bangun dipangkuanku, tiba-tiba suara lirih terdengar dari sang ibu.
“Ajiku sayang, ibu sangat menyayangimu nak, jangan tinggalkan ibu nak”.
Lalu suara itu, menghilang perlahan, “Ibu iya bu, aku mencintaimu, aku sangat menyayangimu, kaulah duniaku, jangan tinggalkan aku bu, bangunlah bu…”
Dan tiba-tiba detak denyut nadinya menghilang, akupun putus asa, tatapanku kosong.. Malaikatku hilang, semua berubah menjadi kekejaman yang lebih parah dari kegilaan metropolitan ini,
Disinilah aku terduduk membisu, dibangku depan ruang UGD, ditengah dokter memainkan alat-alat canggihnya membangunkan ibuku, aku disini terdiam, aku duduk penuh penyesalan, sumpah serapah pantaslah untukku, aku manusia paling durhaka di dunia ini, membiarkan ibunya berjuang sendirian melawati masa hidup atau matinya, namun apa dayaku .. aku hanyalah anak yang tak tau diuntung, durhaka, dan menjijikan, tak pantas rasanya aku ini hidup didunia ini.
Suara pintu kamar ibuku terbuka, lelaki berjas putih dengan stetoskop itu datang menghampiriku.
“Nak, Alhamdulillah.. ibumu sudah melewati masa kritisnya”.
“benarkah dokter, mana ibuku dok? Apa dia tebangun? Aku ingin menemuinya dok? Aku ingin memeluknya dokter?” pintaku penuh harap dan bahagia.
Seolah-olah suatu kebahagiaan kembali hadir dalam hidupku.
“jangan dulu nak, ibumu perlu istirahat, tunggulah sampai ia siuman” .
“Baiklah dokter”.
Aku duduk disebelah ibu, ku pegangi tanganya, menungunya siuman. Aku menunggunya sampai ia terbangun. Terkadang aku marah pada diriku, ketika aku terlelap ditengah malam, lalu apa yang terjadi jika ibuku bangun disaat aku terlelap ditengah malam, hari ini sudah 5 hari lamanya, ibuku tak kunjung bangun dari tidurnya. Namun aku pun masih berharap besar ibuku pasti bangun dari tidurnya yang lelap.
Dan ketika itu pukul setengah tiga pagi, pegangan tanganku terasa aneh, ada yang bergerak-gerak, oh tidak ibuku siuman.. aku sangat bahagia.
“Ibu.. Ibu.. Ibu.. bangunlah bu…”. senyuman terbahagia pun kukeluarkan, hidupku yang kedua kali hadir kembali.
“Dokter, Dokter.. Ibuku siuman” . Panggiku agar memeriksa keadaan ibuku.
Beberapa menit kemudian dokter menghampiriku dengan senyum terindahnya,
“nak, ibumu baik-baik saja, luka-luka dalamnya sudah semakin pulih, mungkin dalam beberapa hari lagi bisa kembali pulang.. itu ibumu sudah bangun hampirilah ia”. pinta dokter.
“benarkah dokter.. terima kasih dokter kau telah membantu kami..”
“iya nak itu memang sudah tugas kami”
Kubuka pintu itu perlahan, aku melihat ibuku menatapku dari dalam penuh kasih sayang, aku melihatnya dari luar, tiba-tiba air mataku jatuh, aku langsung lari kearahnya dan memeluknya seerat-eratnya.
“Ibu jangan tinggalkan aku, maafkan anakmu yang tak berguna ini bu, aku sayang padamu bu, jangan tinggalkan aku lagi bu”. kataku seraya menangis sejadi-jadinya.
“Iya nak, maafkan ibu juga nak, ibu tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu”. Lirih ibuku penuh penyesalan.”
“bu ayo kita setelah ini, kedesa saja bersama kakek dan nenek, aku tidak suka hidup disini, disini sangat kejam aku tak mau lagi kehilangan dirimu untuk kedua kalinya.
“baiklah nak jika itu yang kau mau”
Sebulan kemudian sampailah aku disebuah desa yang asri nan indah, dimana sapaan senja disore hari dapat kau rasakan, kecantikan sang mentari dapat ku nikmati, kicauan burung-burung besenandung dengan melodinya yang indah, semilir air sungai nan jernih, dan desir angin yang menyejukan hati. Hanya disinilah aku dapat merasaknya, indahnya hidup nikmatnya dunia. Aku mengukir sejarah baru bersama ibuku disini, hidup berdua merasakan kehidupan baru yang aman dan tentram bersama warga desa untuk selama-lamanya.
1 thought on “Cerpen: Metropolitan”