Jam bekerku berbunyi, memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya. Tapi tidak denganku, aku masih tertidur pulas. Entah kenapa aku tak terpengaruh sama sekali dengan bunyi alarm itu. Mungkin karena terbiasa tiap harinya menjadi lagu pengganggu tidurku. Berbeda dengan Asnan teman kamarku di asrama. “Harul! Matikan alarm itu sekarang juga, bangun! Ganggu orang tidur aja”. Aku terkaget dan langsung terbangun dari tidurku. Ternyata suara bisingnya lah yang bisa membangunkanku dari tidur. “Hei, kamu itu nggak bisa tenang dikit apa nan? Ganggu orang tidur aja, suaramu itu lo udah kayak tabung gas mbeledos aja” sahutku geram. Asnan berkicau lagi, “apanya yang mbledos, jam beker mu itu lo matikan! Ganggu kita semua disini, cepat matikan!”. Perdebatan itu pun terus berlangsung udah kayak debat pilpres aja. Begitulah keseharianku di asrama, meskipun Asnan seperti itu tapi dia itu merupakan salah satu komplotan kita yang unfaedah banget. Komplotan kita terdiri dari delapan orang. Kita semua punya keunikan masing-masing, keunikan itulah yang buat kita saling melengkapi satu sama lain.
Sebelum ku ceritakan tentang sebuah kelompok yang nggak harus dikenang sih ya, tapi nggak masalah lah sekedar cukup tahu aja. Perkenalkan namaku Harul, kata teman-teman aku itu orang yang paling lugu di komplotan dan sukanya usil dengan teman-teman yang lain. Karena kumisku yang menggelantung ini, teman-teman pun kadang memanggilku si Kumis Lele. Nah ini Fiki dia itu orang yang paling suka pamerin tempat-tempat yang dia dikunjungi padahal sih biasa aja, ya tapi kita pura-pura ingin kesana gitu padahal nggak, walaupun begitu yang aku salut dari Fiki ini dia itu selalu jadi pawang jalan kalau kita lagi jalan-jalan. Terus ada juga si Wardah salah satu cewek yang ada di komplotan kita, dia itu cewek yang paling shalihah di komplotan kita, selalu ingetin kita kalau lagi berbuat salah, tapi kalau Wardah lagi ngomong itu ya seperti emak-emak primitif aja, mengutip semua misteri-misteri leluhur.
Komplotan selanjutnya adalah si Udin, kalo tadi si Wardah cewek yang paling salihah, kalau Udin ini cowok yang paling alim dan manusia terhemat di komplotan kita. Maklum lah anak ekonomi itu sukanya ngitung-ngitung pengeluaran aja. Bahkan dia sudah menghitung pengeluaran pernikahan sehemat-hematnya dengan untung bagi hasil. Nah ini si Pasya dia itu cowok paling kalem plus murah senyum, kemana-mana selalu sama motor klasiknya. Dia orang yang paling misterius diantara kita semua. Selanjutnya si Obik, cewek yang kalau ngomong ada serak-serak manja gitu dan kalau lagi jalan bareng udah kayak emak-emak sosialita aja, jepret sana jepret sini. Tapi tau nggak? si Obik ini temen yang paling peduli banget di komplotan kita, dia rela bawa nasi serantang dan masak banyak-banyak buat di makan bareng-bareng, emak-emak banget kan? Hehehe. Oh iya dia itu juga kalau lagi naik motor udah kayak preman jalanan aja. Aku curiga kalau dia itu ikut sindikat begal jalanan gitu.
Kemudian ada si Asnan teman kamarku, jujur sebenarnya aku bingung mau mendeskripsikan mahluk satu ini. Dia masih muda tapi wajahnya tua, tiap rautan wajahnya mengukir sejarah kelam hidupnya tapi dia ini anak yang paling hiperaktif di komplotan kita. Gak tau malu sih, visi misinya adalah bahagia kalau liat orang lain menderita. Apalagi kalo ada teman sendiri yang menderita pasti bakal jadi kebahagiaan yang hakiki buat dia. Nah teman-teman bisa deskripsikan sendiri ya siapa dia. Kemudian ada Lidya, kalau tadi Asnan umur muda tapi wajah tua, kalo Lidya ini umur tua wajah katanya sih masih muda. Entahlah.. yang jelas hati-hati sama cewek satu ini. Impian terbesarnya adalah bakal nikah sama lelaki konglomerat. Nggak mau masak, maunya cuman dandan dan dandan mulu. Alur pikirannya nggak akan ada yang tau, akan muncul beberapa pemikiran anehnya yang bakal tak terduga, menyakitkan dan dibalik wajah kejinya terdapat tipu daya yang melebihi tipu daya setan. Nah begitulah kira-kira komplotan kami, lengkap kan? yang kalem ada, yang alim ada, yang tegas ada, yang lembek juga ada, yang nyerocos ada bahkan yang setengah sendok pun juga ada.
Jadi awal peradaban mahluk ini bersatu adalah waktu itu kita semua tinggal di asrama. Kalau setiap malam jumat kliwon pada akhir bulan, kita pasti akan berumpul untuk meninjau dan mengevaluasi perkembangan dimasing-masing asrama. Tapi kayaknya itu hanyalah fiktif belaka deh, faktanya kerjaan kita itu makan, makan dan makan kalau nggak gitu ya ngebuli si Lidya, cewek yang paling sok dengan kecantikanya. Nah mulai dari situ lah kita menamai komplotan kita ini sebagai Komplotan Mblobor. Soalnya kalo kita sudah ngumpul pasti gak bakal kenal lagi yang namanya malam, seakan-akan tiap hari adalah siang, mata standby dua puluh empat jam sudah kayak pegawai supermarket aja. Tapi jangan salah, justru kebersamaan itu lah yang membuat diri kita semakin senang dan hal sederhana sekalipun bisa menjadi bahan tertawaan kita. Iya begitulah kita, agak gila memang dipertemukan dengan mereka tapi agak resek juga sih mereka kalau ngebuli salah satu komplotan. Kalau belum sampai titik puncak gak akan berhenti, oh iya ngomong-ngomong kita tinggal di asrama itu cuman setahun aja. Setelah itu terserah kita mau melanjutkan setahun lagi atau mau tingggal diluar asrama.
Setahun kemudian, disinilah momen menyedihkan itu terjadi sebagian dari kami pergi memutuskan untuk tinggal diluar asrama. Fiki dan Pasya, mereka tinggal diluar karena mereka ada pekerjaan yang harus mereka urus. Disini lah mulai drama-drama murahan itu, dua orang komplotan kita nggak tinggal di asrama lagi, kita dan yang lain tetap tinggal disini berkumpul seperti biasa pada hari jumat kliwon pada akhir bulan. Setelah kejadian itu kita seakan-akan kehilangan kontak, jarang terjadi komunikasi lagi karena kita tinggal berjauhan dan nggak tinggal satu asrama lagi. Menyebalkan memang tapi itu lah yang terjadi sampai tiba lah ulang tahun si Lidya.
Aku pun menjalankan rutinitas harianku yang suntuk dan membosankan. Tiba-tiba teleponku berdering, muncul foto selfi dengan beribu hasil editan, ternyata itu wajah si Obik. “Haloo.. Harul, dimana?” belum aku berkata halo, kecepatannya berbicara secepat cahaya hingga aku tak sanggup lebih dahulu untuk memulai. “iya.. iya.. aku di kamar, lagi males-malesan”. Sahutku dengan suara jengkel. “hei.. rul tau gak? minggu ini si Lidya ulang tahun, ayo kita kerjain dia sampai mampus rul”. Ucapnya sembari tertawa. “iyakah bik? Ayo… aku kabarin teman-teman yang lain ya, kita harus buat strategi yang tepat bik”. Ucapku setengah kaget. “Iyaa.. gih kamu kabarin temen-temen yang lain, sambung di Whatsapp ya” telepon langsung dimatikan aku pun langsung menghubungi teman-teman yang lainnya.
Tepat pada tanggal 6 agustus wanita ini ulang tahun, tentu saja si Obik dan teman-teman lainnya merencanakan sebuah penyerbuan tersetruktur untuk menyerang Lidya. Dia adalah cewek dengan segala tipu muslihatnya menjadi sasaran utama kita. Akhirnya tertunjuk lah tanggal 16 agustus sebagai tanggal penyerangan. Memang agak lama kami merayakan ulang tahunnya, supaya Lidya merasa bahwa kita benar-benar melupakan hari istimewanya dan ketika nanti kami rayakan dapat berkenang buat Lidya. Aku sebagai sang aktor bersandiwara yang akan membuat Lidya menangis. Sedangkan Udin dan Asnan adalah sang eksekutor, Wardah menjadi teman biasanya Lidya, Fiki dan Pasya yang akan memenuhi kebutuhan kita. Jadi kronologisnya begini, tepat pada malam kamis legi Wardah mengajak Lidya untuk pergi ke asrama pusat, tapi ditengah jalan aku sang aktor utama akan labrak dia ditengah jalan dan memarahi Lidya, karena dia yang sudah ngejelekin aku didepan doi.
Tepat pada tanggal 6 agustus wanita ini ulang tahun, tentu saja si Obik dan teman-teman lainnya merencanakan sebuah penyerbuan tersetruktur untuk menyerang Lidya. Dia adalah cewek dengan segala tipu muslihatnya menjadi sasaran utama kita. Akhirnya tertunjuk lah tanggal 16 agustus sebagai tanggal penyerangan. Memang agak lama kami merayakan ulang tahunnya, supaya Lidya merasa bahwa kita benar-benar melupakan hari istimewanya dan ketika nanti kami rayakan dapat berkenang buat Lidya. Aku sebagai sang aktor bersandiwara yang akan membuat Lidya menangis. Sedangkan Udin dan Asnan adalah sang eksekutor, Wardah menjadi teman biasanya Lidya, Fiki dan Pasya yang akan memenuhi kebutuhan kita. Jadi kronologisnya begini, tepat pada malam kamis legi Wardah mengajak Lidya untuk pergi ke asrama pusat, tapi ditengah jalan aku sang aktor utama akan labrak dia ditengah jalan dan memarahi Lidya, karena dia yang sudah ngejelekin aku didepan doi.
Kampungan memang skenarionya tapi aktingku cukup keren juga buat jadi aktor hehehe. Pas dia nangis disitu aku puas banget. Lidya menangis kayak nangis darah aja. Kami pun makin kegirangan, sampe tiba saatnya sang eksekutor muncul membawa bahan-bahan dapur dan seember air, tumpah ruah ke Lidya, aku tambah kegirangan, jadilah Lidya adonan masakan yang tak layak dimakan. Setelah itu datanglah Obik dengan kue tartnya dan semua lilin yang menyala-nyala dengan penuh haru, akhirnya ulang tahun pun dirayakan. Kami seneng banget, strategi penyerangan berhasil dan target nangis kesenangan atau mungkin malah sedih karena bajunya kotor, masak bodoh lah.
Tentunya dia terharu banget, dia merasa senang ternyata kita masih ingat dengan ulang tahunnya. setelah itu kita berkumpul dan saling mendoakan untuk kebaikan masing-masing. Begitulah kita sejahat-jahatnya kita tapi jahatnya kita merupakan bentuk kasih sayang ke mereka. Sudah kayak visi misinya Asnan aja, Bahagia melihat orang lain menderita. Iya tapi kenyataanya memang benar kita sangat bahagia ketika Lidya menderita.
Liburan akhir semesteran pun datang, kita semua kembali ke rumah masing-masing. Wardah, Pasya, dan Fiki memang tinggal di Malang tapi aku harus segera pulang ke Bali. Obik dan Lidya juga pulang ke rumahnya di Banyuwangi, Udin di Tuban dan Asnan di Sukabumi. Namun naasnya Asnan setiap liburan memang tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Menurutnya tak ada yang bisa dinikmati di kampung halaman, jadi lebih memilih tinggal di Malang daripada pulang ke kampung halaman. Memang sih si Asnan ini nggak pernah pulang ke kampung halamannya. Katanya ketika mengenal kota Malang senang banget, nggak kayak di desanya apa-apa masih sulit, depan, belakang, kiri dan kanan rumahnya hanya ada sawah dan hutan aja. Rumahnya itu berada di pelosok desa. Padahal sih emang iya. Mangkanya lebih betah tinggal di kota Malang, kalau aku sih kayaknya bakal berfikiran sama kayak Asnan tinggal di Kota Malang aja kali ya.
Beberapa hari kemudian hanya pesan online yang menjadi perantara kami melepas kerinduan. Padahal rumahku dan rumah si Obik berdekatan, tapi percayalah si Obik sangat takut dengan lautan, baru kali ini aku menemukan manusia di zaman milenial ini ada orang yang takut akan lautan. hidupnya hanya terkungkung di pulau Jawa aja, nggak tau ya kenapa, kata Obik itu dia gak terlalu suka alam lepas gitu, sudah kayak drama-drama misteri Nyi Roro Kidul aja nih. Tapi emang benar jangan sekali-kali ajak dia ke pantai atau gak nyawamu melayang. akhirnya pun selama liburan kita nggak pernah bertemu sama sekali sampai waktu masuk kuliah pun tiba.
Hal yang pertama kali kita lakukan adalah ngumpul bareng depan kampus, sore-sore sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Kita berkumpul di depan kampus namun sayangnya Fiki dan Pasya lagi-lagi gak bisa kumpul bareng. Agak sedih sih tapi memang mereka berdua itu sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Nah tentuya si Obik datang dengan satu bakul nasi dan masakan khasnya. Waktu itu dia membawa telur petis, ikan goreng dan sambal terong. Kita makan bareng dan sambil tertawa lepas kala itu. Diantara kita semua Lidya lah yang mendapatkan predikat tertawa paling lebar, waktu itu tak sengaja si Asnan membuat lelucon yang sebenarnya tak lucu, tapi bisa bikin Lidya tertawa terbahak-bahak dan yang paling aku jengkel adalah Lidya duduk tepat disebelahku. Pada saat Lidya sedang minum air, seketika itu juga air yang di mulutnya itu menyemprot bajuku, agak jengkel memang bajuku basah dengan semprotannya. Jengkel memang baju baruku ternodai oleh semburannya, mungkin karena waktu itu kita pertama kali bertemu tak ada rasa marah sedikitpun kepadanya.
Hari berlanjut, sebenarnya pasca kejadian itu kita sedih banget karena nggak pernah ngumpul bareng dengan formasi lengkap. Obik tentunya selalu maksa kita buat meluangkan waktu untuk ngumpul padahal waktu itu segala tugas kuliah dan urusan asrama udah kayak tugas negara yang harus diselesaikan aja. Bagaimanapun juga alhasil kita pun ngumpul, Mie Alien.. adalah pilihan kita buat berkumpul, seperti biasa sore menjelang maghrib adalah waktu yang biasa kita buat untuk ngumpul, karena waktu sore konon katanya perpindahan roh baik menjadi roh jahat, si Wardah nyerocos dengan segala petuah nenek moyang. Belum lima menit sesampainya kita di restoran itu, kita sudah bikin satu restoran gempar dengan suara Asnan dan Lidya. Agak malu memang berteman dengan mereka karena kami menjadi pusat perhatian banyak orang waktu itu. Terlebih lagi si Obik yang tak henti-hentinya jepret sana jepret sini, sedangkan aku, Udin, Fiki, dan Pasya malu melihat kelakuan mereka.
Tiba lah hidangan kami, dengan lahapnya kami makan dan tak lupa tertawa adalah iringan lagu kebahagian kita sembari makan. Tentunya aku duduk jauh dari Lidya karena takut adegan semprotan itu terjadi lagi. Wardah memesan es Galaksi sedangkan kita memesan es Mars. Selesainya makan, tibalah saatnya pengangkatan dan pengukuhan Tim Mblobor, pada jam 17.25 bakda azan maghrib tertunjuk lah Asnan sebagai ketua dan Lidya sebagai wakil, Udin dan Obik sebagai bendahara dan kita anggota. Mie Alien lah yang menjadi pertemuan awal kita secara lengkap setelah liburan. Aku pun tersadar persahabatan itu juga bisa ngangenin. Buktinya mereka, walaupun malu sih kalau bareng mereka di khalayak umum tapi mau gimana lagi hanya bareng mereka aku bisa tertawa lepas dan merasa nyaman.
Perkumpulan semalam bukan lah akhir dari sebuah pertemuan, tapi justru kita berencana untuk melakukan yang lebih dari itu. Karena dengan alam kita bisa lebih dekat satu sama lain. Bersama-sama dan melewati tantangan yang ada secara bersama-sama. Akhirnya tercetus lah agenda baru kita dan pertama kalinya kita jelajah alam. Iya kita bakal jalan-jalan mengunjungi salah satu keindahan Malang.
Paralayang inilah pertama kalinya kita ngumpul dan berencana buat jalan-jalan bareng. Waktu itu perkuliahan sangatlah padat, otakku diporsir seperti jadi mesin berjalan. sampai-sampai aku harus jadi kelelawar agar bisa menyelesaikan berjuta-juta tuntutan tugas. Tercetuslah sebuah ide, “teman-teman ayo kita ke Paralayang, semua wajib ikut dan harus ikut, titik” celetuk Obik. Kemudian Fiki pun dengan senang hati mengiyakan karena dia lah sang pawang jalan kami, selalu menjadi pemandu kami selama berwisata. Sempat terjadi dilema watu itu karena si Udin dan Wardah tidak bisa ikut. Padahal kita ingin sekali jalan-jalan bareng. Alhasil jelang satu hari sebelum berangkat kita memutuskan untuk tetap jalan walaupun kurang personil.
Kali ini kita berangkat setelah shalat maghrib, semua persiapan telah selesai kita pun berangkat. Tentunya Fiki paling depan menjadi pemandu kami. Diurutan ke dua ada Obik yang naik motor dipertengahan jalan. Dia sempat bikin jantungku mau copot, memaksa sekali ingin menyalip Fiki, naik motor ugal-ugalan dan membuat pengemudi sebelahnya bersenandung ria kepadanya. Emang sih bener dia itu preman jalanan. Katanya sih biar kita nggak khawatir dan dianggap kalau dia itu lemah, memang sih kalau si Obik kalau sudah muncul kepala batunya, kepala baja pun kalah sama dia. Oke baik, asalkan dia selamat aja aku masih bisa mentolerir.
Pada jalanan naik, aku lah yang membonceng si Obik. Tubuh emak-emak supernya cukup buat aku khawatir. Akankah aku berhasil melewati jalanan tanjakan ini, segala macam mantra sudah Obik baca dan aku pun mulai menambah kecepatan sepeda motor. Ketika telah mencapai setengah perjalanan tiba-tiba motor yang aku naiki melambat perlahan-lahan sontak aku kaget dan keringat dingin. Obik yang duduk di belakang tidak henti-hentinya membaca segala doa. Baiknya si Obik itu dia itu sadar diri, dengan porsi tubuhnya itu.
“Rul.. Rul…” dia tarik-tarik jaketku dari belakang.
Aku membalas “apaan bik.. gawat ini.. gawat ini..”.
Obik seketika menjawab “ini gara-gara aku ya rul, aku turun deh, biar aku jalan kaki aja rul, nanti kenapa-kenapa lagi..” sontak aku terkaget, sempat-sempatnya di jalan tanjakan si Obik mau turun dan jalan kaki di jalanan yang gelap tanpa cahaya sedikit pun.
“Gila kamu bik, mana mungkin aku bakal turunin kamu dijalanan ini, kamu mau ntar di makan serigala buas ?”
Sontak si Obik teriak,, “Aaaaa… gak mau rul, aku gak mau..”, ternyata di balik jiwa premannya itu dia juga penakut.
“Nggak bik, nggak mungkin lah ada serigala disini. Banyak doa aja ya”. Jawabku dan percakapan pun selesai.
Sekilas aku melihat ke teman-teman yang lain, mereka sudah melesat ke atas dan tak kulihat lagi lampu motornya. Disini tinggal aku sendirian dengan Obik, aku belagak tenang dan santai kayak pembalap gitu berambisi untuk menaklukan jalan ini, akhirnya aku melesat dengan sekencang-kencangnya sampai titik darah penghabisan. “Ah, gampang jalanan ini aja sih aku bisa, iya nggak Obik”tanyaku pada Obik. “Hati-hati ya rul, aku yakin kamu bisa kok”. Masih di jalan yang sama aku terus berjuang seperti mengangkut barang berton-ton kilo beratnya. Perlahan-lahan demi waktu ke waktu menaiki jalan tersebut. Tiba-tiba semakin atas aku naik, semakin motor ini melambat dan pada saat itu juga motor berhenti mendadak. Aku tersontak kaget ada apa ini? pada waktu bersamaan teman-teman menyusulku ke belakang, mereka tahu aku ketinggalan di belakang, si Asnan berkata padaku “Harul, nggak kuat ya, jangan lupa motornya digoyang-goyang biar bantu menambah kecepatan ke atas”. Tersadar aku ternyata dibalik tingkahnya yang aneh dan sering malu-maluin itu tapi dapat membantuku juga biar motor ini bisa naik keatas, “cukup pinter juga kamu nan” celetukku. Akhirnya aku mengikuti cara Asnan agar motorku bisa naik keatas.
Sampailah kita diatas, kita membayar sepuluh ribu untuk tiket masuk dan kita parkir motor didekat pintu masuk. Semua sudah siap jaket, sarung tangan pun kami pakai. Kami masuk kedalam, sebenernya aku sudah kesekian kalinya kesini. Cuman bareng mereka aja yang belum pernah. Berkali-kali aku kesini tetapi tempat ini masih buat aku terpesona dengan keindahan paralayang ini. Indah memang, kelap kelip malam perkotaan sangatlah indah. Sesampainya di tempat paling atas kami duduk sembari melihat pemandangan. Kacang rebus yang kita bawa adalah teman tertawa lepas kita sepanjang malam. Tak lupa si Obik dengan jepret-jepretnya ditambah lagi si Asnan dan Lidya teriak histeris kegirangan. Memalukan memang mereka, aku, Fiki dan Pasya seperti biasa menikmati indahnya paralayang.
Fiki memang layak dijuliki penunjuk jalan Malang, iya memang sih rumahnya di Malang. Dia sangat tau jalan-jalan kecil sekalipun untuk menghindari kemacetan. Tak salah lah memilih dia sebagai penunjuk jalan. Kami pun berlanjut berbicara banyak hal, sebenarnya yang kita omongkan sih tidak terlalu penting tapi kita bisa kumpul bareng dan tertawa lepas itulah yang sangat kita nantikan. Apapun hal yang lucu yang kita lihat disekitar itulah yang kita tertawakan. Apalagi si Asnan dan Lidya, imajinasi ekstrimnya mampu membuat kita semua tertawa bahkan si Irfan yang pendiam pun kali ini ikut tertawa. Kami sungguh bahagia kala itu kami yang biasa di asrama jarang keluar, kali ini kami bisa bertemu teman-teman yang sudah tidak di asrama lagi.
Tak terasa jam tiga pagi, kami mulai lelah dan lapar. Kami pun merasa kedinginan dengan angin semilir malam. Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan disebuah warung. Kali ini kita berbicara ke topik yang agak serius iya horor, itulah yang kita biacarakan. Mulai si Fiki yang menceritakan bagaimana dirinya dulu pernah hilang atau si Lidya yang menceritakan pengalaman kakaknya yang dulu pernah uji nyali di tengah hutan. Kemudian aku pun juga menceritakan bagaimana dulu semasa SMA aku pernah di ikuti oleh sesosok mahluk. Sampai Obik yang menceritakan pengalamannya tentang lautan. Sejak dari itu aku jadi tau kenapa dia takut dengan pantai. Obik pernah diajak ke pantai bersama teman-teman secara paksa dan akhirnya sesampainya ia di pantai seketika itu juga ia teriak histeris sejadi-jadinya dan teman-temanya pun meminta maaf. Sekali lagi, aneh memang berteman dengan mereka banyak orang yang telah aku kenal dan temui tapi mereka begitu unik dengan segala latar belakang mereka. Aku menyukainya karena entah mengapa dengan bersama kita bisa saling mengerti satu sama lain layaknya keluarga di tanah rantau.
Menjelang subuh kita bergegas pergi, mentari pagi terbit dengan indah. Senyumanya sungguh menawan menyapa kami yang sedang berada di Amongtani waktu itu. Kita sempatkan untuk mampir ke tempat itu atas permintaan Obik yang ingin mengabadikan fotonya di tempat itu bersama kami. Alhasil kita pun berrtingkah aneh disana, membuat video vlog, foto dan mengabaikan apa reaksi orang sekitar. “hahaha.. biarkan saja kita gak kenal mereka, nanti juga kita bakalan pergi dari sini”. ucap si Lidya.
Matahari perlahan-lahan menunjukan dirinya dan kami pun belum tidur sama sekali sejak keberangkatan kami kemarin malam. Akhirnya kami memutuskan untuk sarapan di emperan jalan. Nasi pecel ibu Nanik menjadi tujuan kami, kami menikmatinya dengan lahap setelah semalaman begadang. Tak lupa Obik dengan jepretannya, Lidya dan Asnan udah kayak komentator mengomentari nasi pecel dari segala bidang kehidupan. Pasya diam tapi fokus memperhatikan partikel-partikel yang ada dalam nasi pecel, sekali lagi mereka memang aneh. Aku pun menikmati tiap-tiap saat bersama mereka. Setelah itu kita merasa cukup dan sudah saatnya sekarang untuk pulang. Fiki pun sudah mulai lemah dan tak berdaya lagi. Maka pada waktu itu pun kita kembali ke asrama dan ke rumah masing-masing. Sungguh perjalanan yang sangat mengasikan dua puluh empat jam kami bersama. Pergi ketempat yang sama dan berbicara banyak hal bersama. Menceritakan keluh kesah bersama, bahkan menceritakan lika-liku percintaan mereka bersama, menyenangkan bisa bersama-sama.
Dibalik kebahagiaan yang kami lalui selalu menyisakan kesedihan, iya sedih, kenapa begitu? Setiap kami berkumpul dan jalan-jalan selalu dalam formasi yang tidak lengkap. Sangat menyedihkan memang tapi kita memang gak bisa memaksa mereka untuk selalu bisa berkumpul. Tibalah sekarang kita di peralihan semester menengah menuju semester yang agak tua. Pertemanan kita masih erat, semuanya tetap sama dan aku pun merasa ini merupakan tahun terakhirku buat tinggal di asrama dan setelah itu aku akan tinggal di tempat lain dengan penampilan baru.
Seperti biasanya setiap malam jumat kliwon kita berkumpul dan membahas hal yang sama. Hari yang sangat menyenangkan ketika menanti malam jumat kliwon tiba. Karena kita hanya bisa berkumpul pada hari itu saja, sudah kayak perkumpulan mistis aja yang harus berkumpul setiap jumat kliwon. Tapi nyatanya yang kita bahas bukan lah hal yang mistis tetapi hal yang perlu dilakukan untuk memajukan asrama yang kita tempati ini. Sebenarnya kita berkumpul tidak hanya kita saja tetapi berdua puluh orang, namun bagian dari kita adalah saahabat dekat kita yang kita namai komplotan Mblobor itu. Mulai dari sini lah lahir nama Mblobors tersebut. Entah mengapa asrama lah yang menjadi titik awal pertama kali pertemuan kami. Dimana pada saat itu kita masih saling cuek, acuh dan tak mengenal satu sama lain tapi alhasil kita sudah bisa kayak gini aja, menjadi aneh, suka jail, dan sudah gak saling jaim-jaiman lagi. Sudah saling terbuka satu sama lain. yah begitulah kisah gak penting tapi cukup tau aja. Bahwa di dunia milenial ini masih ada ya sekomplotan remaja aneh bin hina ini lahir di muka bumi. Begitulah kehidupan kita hari ini dan tak akan tau apa yang akan terjadi di hari-hari berikutnya.
Pada tahun ini aku dan Lidya akan berhenti tinggal di asrama, aku pun tak ingin mereka tahu akan keputusan ku ini, aku membungkam mulutku dari segala macam pertanyaan tentang hal itu. Kali ini aku hanya bisa menikmati hari-hari akhir bersama mereka di asrama. Namun aku tahu ternyata soal pemberhentianku sudah diketahui oleh Udin, Wardah, Asnan dan Obik. Setelah dulu awal Fiki dan Pasya yang terlebih dahulu berhenti, dan pada tahun ini adalah tahun terakhir bagi aku dan Lidya untuk tinggal di Asrama. Kesedihan pun tak terbendung lagi tentunya, kita semua semakin terpisah dan tak bisa bersama lagi pada malam jumat kliwon. Tak ada lagi canda dan tawa yang sempurna pada malam jumat kliwon. Apa daya itu lah kehidupan tak ada yang bisa memastikan dan tak selamanya kita akan tetap bersama. Kali ini aku mengiyakan petuah nenek moyang yang telah diutarakan Wardah bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dia benar bahwa cepat atau lambat perpisahan pasti akan terjadi dan jika masanya telah tiba lalu bagaimanakah kita bisa merajut kembali hal-hal yang telah terpisah itu kembali. Sehingga sebuah perpisahan bukanlah sebuah hal yang berarti jika kita dapat merajutnya kembali.
Sebuah maktamar akbar pun terjadi untuk merancang sebuah pertemuan dan kegiatan akbar yang bisa membuat kami terkenang. Wardah pun berkata “tau gak temen-temen nenek moyangku pernah bilang gunung itu tempat dimana sebuah tantangan, kebersamaan dan kenangan bisa menjadi satu, sampai tujuh turunan pun akan terkenang”. “hmm gimana ya.. aku takut aja, kulitku menghitam terus harus perawatan lagi” sindir Lidya. “Iya. aku malas banget capek jalan, pasti lelah aku maunya langsung menikmati, aku gak mau mendaki capek,, tolong ya” Asnan menimpali. Sempat terjadi cekcok diantara kita, mengalahkan cekcoknya para tetinggi-tetinggi pemerintahan. Segala opsi dan afirmasi yang disampaikan belum menyelesaikan masalah. Alhasil Fiki sang juru jalan kami berkata ”hey teman-teman, gak perlu kayak film 5 cm kali biar kita bisa mendaki dan berjuang bareng ada jalan lain. Apa itu? Bromo.. surga Indonesia yang lainnya. Menikmati keindahanya bersama itu lah kenangan yang sesungguhnya. Tapi ya kalian kudu pake jaket yang tebal, masker dan pakaian hangat lainnya ya. Minggu depan kita berangkat dan untuk minggu ini istirahat dan sering-sering olahraga ya teman-teman”.
“Wah.. boleh juga ide kamu itu, aku sudah lama gak ke Bromo”, celetuk Pasya. Aku dengan lantang jawab “mantap jiwa!”. Asnan dan Lidya mengangguk setuju. Akhirnya terpilih lah Bromo menjadi destinasi kami, sebagai tempat dimana kita akan berjuang bersama menyaksikan keindahan serpihan surga yang ada dimuka bumi ini. Kita akhirnya sepakat akan berangat ke Bromo minggu depan tentunya dengan formasi yang lengkap.
Semua persiapan siap sekarang saatnya kumpul di tempat biasa kita ngumpul bareng. Sebelum berangkat ke Bromo bareng-bareng kita memperhatikan setiap kebutuhan sampai semuanya siap. Kita dengan semangat ingin menaklukan Bromo, iya memang ke Bromo tak sesulit ke gunung-gunung yang lainnya. Dengan motor pun kita bisa segera sampai hanya memakan waktu tiga jam kita sudah bisa sampai di Bromo. Berangkat setelah maghrib dimana perpindahan roh baik menuju roh jahat merupakan waktu yang tepat untuk kita berangkat bersama. Sesampainya disana jam 10 malam dan ternyata bromo baru dibuka jam 1 malam, dimana perpindahan roh jahat menuju roh baik. Akhirnya pun kita memutuskan untuk beristirahat sembari menunggu jam satu di pendopo dekat loket masuk. Kami berkumpul dan saling merapatkan barisan agar saling menghangatkan satu sama lain, Pasya dengan menu favoritnya membeli kopi tentunya. Kita pun seperti biasa canda dan tawa selalu mengiringi tiap perkumpulan kita. “Ah.. Malam ini semakin dingin aku sudah gak sanggup lagi menahan dinginya malam”, celetuk Lidya. Alhasil Asnan dengan ide anehnya “yuk kita senam Kewer-kewer teman-teman”, senam kewer-kewer adalah senam yang cukup terkenal pada masa itu. Kita sering menggunakan senam ini sewaktu di Asrama. Cukup dengan bantuan internet dapat membantu kita mencari instrumen musik yang dicari.
Ternyata ada isntruktur senam handal yaitu si Asnan, Dengan tubuhnya yang lentur bak karet ban mobil gembos, memimpin senam kit menjadi lebih menyenangkan. iya hitung-hitung buat menghangatkan badan. Lagi-lagi kami pun membiarkan diri kita dilihat kerumunan orang-orang disana tanpa rasa malu. Lidya pun bersikukuh dengan masa bodohnya, “biarkan kita gak kenal mereka kok, habis ini juga gak akan ketemu lagi, bahagia kalian jangan sampe dirampas gara-gara hal yang gak penting ya teman-teman”. Dia selalu seperti itu dengan segala imajinasi anehnya, tapi dia mampu membuat kami untuk berfikir dua kali untuk melawan pernyataannya. Pasya pun merekam dari awal senam kita. Biasalah atas permintaan si Obik, yang mau segala sesuatu harus terdokumentasikan.
Kami pun mulai lelah, sejenak kita beristirahat ketika kita merasa diri kita sudah mulai hangat. Akhirnya jam mennjukan jam satu pagi, roh baik pun kembali menyelimutti bumi celetuk Aul. Akhirnya kita pun membeli tiket di loket. Setelah itu kami pun harus menempuh perjalanan dari loket menuju gunung bromo selama satu jam lamanya. kami berangkat dengan motor masing-masing. Tentunya dengan rombongan yang lainnya. Sebelum berangkat kita memenuhi tangki bensin masing-masing sampai penuh karena disepanjang perjalanan nanti tak ada yang namanya tempat isi ulang bensin. Jujur, sebenrnya perjalanan ke gunung Bromo ini aku merasa kurang enak badan dan sedikit pusing. Aku ragu untuk berangkat tapi ya mau gimana lagi, aku gak bisa menolak keinginan mereka. Akhirnya aku pun memaksa diriku untuk berangkat. Aku berusaha biar temen-temen gak tau kalo sebenarnya aku lagi sakit supaya semua rencana kita berjalan dengan lancar.
Aku melihat disepanjang perjalanan hanya lah jurang dan hutan gelap gulita dan disepanjang jurang aku lihat baris berbaris cahaya lampu motor yang memiliki tujuan yang sama untuk berangkat ke Bromo juga. Kita sengaja berangkat dini hari, karena kami ingin melihat matahari terbit di gunung Bromo. Kata kebanyakan orang menyaksikan matahari terbit di Bromo sangatlah indah. Akhirnya sampai lah kami di Bromo tepat jam dua lebih lima belas menit. Akhirnya kita parrkir motor didekat gazebo dan beristirahat sebentar. Sebenarnya kita belum langsung saampai di kaki gunung Bromo. Tapi kita berada diatas pegunungan yang mana bisa melihat Bromo dari kejauhan dan itu sangatlah indah. Aku gak tau berapa suhu disana, dinginnya sudah kayak di perbukitan bersalju aja. Jaket tebal yang kita pake udah kayak gak mempan, kita kedinginan membeku. Bahkan ketika kita mau menulis ucapan teman-teman terdekat, tangan kita beku dan gak kuat untuk menulisnya.
Malam itu sangat teramat dingin, akhirnya kita memutuskan untuk mendirikan tenda, akhirnya si Wardah, Lidya dan Obik mereka tidur di tenda dan aku diluar bergantian jaga malam. Angin-angin itu begitu jahat, dinginnya malam itu sampai menusuk ke tulang. Untung aja sebelum berangkat, kami sudah membeli camilan untuk teman begadang disana dan lima botol air yang kita bawa udah kayak minuman yang ditaruh di kulkas aja. Azan subuh berkumandang, kita pun shalat subuh dsana, menghadap kiblat yang tertuju ke gunung langsung. Sungguh indah sekali, Serpihan syurga yang singgah di muka bumi ini. Setelah itu, inilah momen-momen yang kita nantikan yaitu terbitnya matahari, Obik sudah siap dengan segala kameranya.
Secercah cahaya datang, menyilaukan mata, padanganku langsung tertuju cahaya itu, sebuah harapan dan kehangatan. Indah sekali, mata ku bahkan tak berkedip untuk sesaat, lantunan syahdu kuucapkan untuk memuji sang pencipta syurga dunia ini. Sebuah cahaya menguning muncul di ufuk timur, seolah-olah muncul dari belakang gunung bromo, menyapa sang penjelajah, senyumnya manis sekali, membuat kita tersihir akan keindahanya. Cahaya itu semakin lama semakin membesar dan terlihat lah matahari dari ujung timur sana. Aku sangat senang.. senang sekali, aku bisa menyaksikan ini bersama mereka. Terbayarkan sudah perjalanan kita selama berjam-jam kesini, menahan hawa dingin yang sampai menusuk ke tulang. Bahagia yang hakiki kata mereka.
Obik pun sudah tak sabar lagi, handphonenya sudah di diisi daya baterai dengan penuh supaya tak terlewatkan setitik momen pun kala itu. Lidya menulis kata-kata yang kemudian diabadikan dalam foto. Udin tentu saja dengan vlognya membuat sebuah video singkat yang diikuti oleh Wardah dan Fiki. Aku apa yang aku lakukan, aku berdiri diujung jurang. Berdiam diri menyaksikan semua itu terjadi begitu saja. Aku sampai tak peduli dengan hal yang lain. Indah sekali, Aku ingin menikmati tiap saat itu. Setelah itu aku kembali ke gazebo, aku mencari kemana Asnan. Dia menghilang dari komplotan kita, kulihat dia dari kejauhan datang kearah kami dengan sebungkus bakso di tanganya. “Wah .. kamu nan beli bakso gak ngajak-ngajak kita dasar kamu” celetukku. “Eh rul aku beli bakso ini emang karena aku udah gak kuat lagi disini dingin banget” sahutnya. “Ini bakso buat ngangetin kaki aku yang dingin banget. aku mau beli air hangat gak ada yang jual, yaudah aku beli bakso aja”. Oh Asnan sekarang ide gilanya muncul lagi, ada ya punya temen kayak gitu. Bungkus bakso itu ditaruh diatas kakinya untuk menghangatkan kakinya yang sudah membeku. Setalah itu dia langsung memakan bakso itu, terus dia bilang ke teman-teman yang lain, “gaes kalian mau bakso gak ini nih?” Wardah menjawab “ogah banget nan, itu daki kakimu nyangkut di bakso”. Sontak yang lain tertawa terbahak-bahak. Kali ini aku kaget ternyata Wardah bisa juga membuat lelucon. Padahal dia terkenal paling alim diantara kita.
Perjalanan kami tak sampai disitu aja, setelah kami puas menikmati pemandangan Bromo dari kejauhan. Kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke kaki gunung Bromo. Jalanya cukup curam dan macet, lagi-lagi sempat membuat aku kewalahan karena waktu itu aku membonceng Obik lagi dan kebayangkan tubuh emak-emaknya itu. Aku juga harus menahan itu sepanjang jalan. Pada akhirnya sampailah kita di kaki gunung Bromo. Disinilah perjuangan kita di mulai, yaitu mendaki gunung Gromo. Emang sih mendaki gunung ini gak seribet mendaki gunung Semeru ataupun gunung-gunung yang lainnya, karena cukup mudah dan disediakan tangga sampai kita mencapai puncak Bromo. Sekali lagi indah sekali.
Sampai jam sepuluh pagi akhirnya kami memutuskan untuk kembali, kami pun memutuskan untuk lewat jalan berpasir, Wardah berkata “kata orang-orang ini tuh pasir berdesis, hati-hati ya teman-teman”. Seketika itu juga teman-teman yang lain langsung ketakutan. Sontak Fiki berkata “ah kamu war, gak lah.. itu cuman istilah aja kok, nggak ada apa-apa” si Wardah berkata “hehehe.. iya iya bercanda kok, maksudku hati-hati ya teman-teman jalanya licin nanti jatuh gitu loh”. Udin membalas “oalah… gitu toh oke oke.. yuk lanjut”. Akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Namun tak sampai disitu, kita pun juga harus menyusuri jalan-jalan yang curam dan berkelok-kelok. Aku benar-benar gak kuat waktu itu, akhirnya aku pun dibonceng dengan Asnan. Tapi belum sampai tengah perjalanan tiba-tiba rem motor yang kami pake blong dan gak berfungsi sama sekali. Seketika itu kita langsung panik, “rul! Harul!”. “ada apa?” jawabku, “rem motornya blong gimana ini? Jalan turunan lagi, gawat dzik.. waduh..”. Seketika itu juga kita panik dan berusaha panik, akhirnya pun kita memutuskan untuk menepi di pinggir jurang. Kebetulan waktu itu kita berada paling belakang. Alhasil teman-teman yang lain sudah melaesat jauh tanpa tahu kita berhenti di belakang. Ditambah lagi dengan sinyal yang hilang karena kondisi kita yang berada di hutan, jadi waktu itu kita benar-benar kehilangan komunikasi sama sekali.
Tiga puluh menit kemudian ternyata mereka sadar bahwa kita mengalami masalah di belakang. Akhirnya mereka datang menghampiri kita yang mengalami kerusakan. “Hei.. kalian kenapa?” tanya Obik. Rem belakang rusak, jadi kita lebih baik berhenti dengan sigap Pasya langsung mengambil segala macam alat permontiran dan pada waktu itu tangan sigapnya dapat memperbaiki motor yang kita kendarai. Kami pun melanjutkan perjalanan kami.
Perjalanan kami benar-benar sangat menyenangkan, semuanya kita alami lagi-lagi bersama-sama. Sangat indah, kebahagian, kesulitan, tantangan, kepanasan, kedinginan, lelah, saling membantu, saling menyamangati semua kita lakukan bersama-sama. Sungguh membuat perjalanan kali ini benar-benar tak terlupakan. Canda dan tawa selalu terselimuti selama perjalanan kita. Mereka saling menyatukan dan saling menguatkan satu sama lain. Alangkah beruntungnya aku diperkenalkan dengan mereka. Mereka yang membuat aku bangkit kembali dan membuat ikatan kita ini begitu berharga. Iya teman, bersyukur sekali jika kalian menemukan teman seperti itu, seperti permata indah yang selalu menghiasimu dimanapun kamu berada. Jika kelak kau menemukan mereka, pertahankanlah mereka dan jangan pernah abaikan mereka.
Hai teman, inginku mengulang kembali kisah-kisah yang aku alami bersama mereka, aku tak pernah mengalami pertemanan sehebat ini. Mereka mampu membuatku tak bisa lepas dari mereka. Grup Whatsapp kami selalu ramai dengan banyolan-banyolan khas mereka. Kita pun tertawa bersama-sama. Aku bersyukur sekali bisa hadir di kota malang, kota manis dan indah menjadi tempat pertemuan kita. Setiap sudut jalan kota Malang menjadi saksi biksu persahabatan kita. Aku berharap pertemanan kita tak sampai putus di kota Malang saja. Kalaupun kita sudah tidak di kota indah ini lagi, pertemanan kita tetap abadi dan tak lekang oleh waktu. Biarkan sejarah yang mengukir pertemanan insan ini. Kota Malang lah yang menjadi titk pertemuan kita, titik dimana persaudaraan kita dimulai. Mengenangnya indah sekali sampai menyisakan tangis haru diakhirnya, karena kita masih belum siap untuk menghadapi yang namanya sebuah perpisahan. Iya kata itu sangat mengerikan dan menakutkan bagi kita. Kata yang membuat kita akan mengalami sebuah perpisahan sedang kami belum siap menghadapinya. Meskipun begitu, cepat atau lambat pun pasti kita akan mengalaminya, kita tak bisa menampiknya, cepat atau lambat hal itu akan terjadi dan pasti terjadi. Mau tidak mau kita harus siap menerima itu semua.
Iya teman betul adanya, kami sekarang berada di semester akhir perkuliahan, tujuan utama kami sudah tercapai. Sudah saatnya kami memikirkan hal yang lebih dewasa lagi. Sudah saatnya kita meniti karir, ataupun membuat sebuah perubahan besar untuk negeri. Aku senang menghabiskan masa remajaku bersama kalian. Jika sudah datang yang namanya perpisahan. Semoga masa remaja kami bisa menginspirasi semua orang bahwa pertemanan itu menjadikan seseorang menjadi saling mengasihi dan menolong, tidak apatis dan mempunyai orang yang dimana bisa menerima keluh kesah kita semua.
Ribuan orang berdiri di depan stadium kampus, mereka mengantri untuk masuk kedalam gedung tersebut. Termasuk kami berdelapan ini yang terpisah dikerumunan tersebut. Sudah tiba saatnya bagi kami untuk mengikuti ritual sakral itu, ritual dimana yang sangat dinanti-nanti Wardah begitu pun juga kami. Setelah empat tahun kurang lebih lamanya kami berjuang dan bersama tapi kini saatnya bagi kami untuk merayakan empat tahun itu. Sebuah ritual pemindahan tali yang dilakukan oleh orang nomor satu di kampus kami. Hal itu membuktikan bahwa kami telah siap untuk menuju jenjang yang lebih menantang lagi yaitu mengamalkan ilmu yang kita dapat terhadap negeri.
Wajahku mondar mandir melihat kesana kemari, aku melihat setiap wajah kerumunan mahasiswa itu mencari orang-orang yang aku kenal. Oh itu Pasya di pojok ruangan dan itu Udin ada di depan dekat panggung utama. Akhirnya aku membuka gadgetku aku mengetik sebuah kata-kata “Hai teman-temanku selamat kepada kita semua, kita berhasil semoga semua cita-cita kita segera tercapai. Salam manis dari ku teman kalian yang pernah hadir dihidup kalian”. Seketika itu grup whatsapp menjadi haru, satu demi persatu saling membalas pesan dan saling mengungkapkan perasaan haru masing-masing.
Lidya berkata “Habis ini kita ketemu di lapangan, pokoknya harus ketemu!” iya padahal baru kemarin malam kita bertemu dan saling menyiapkan keperluan masing-masing sekarang pun malah minta ketemu lagi. Begitulah ia dengan segala perasaannya. Kita semua pasti bakal merindukan tiap detik yang kita lalui hari ini. Ada rasa bahagia yang menghampiri tapi sebenarnya ada rasa sedih yang tak bisa terungkapkan ketika melihat mereka, iya mereka orang-orang yang cepat atau lambat akan terpisah jauh dari mereka. Seandainya mereka tahu aku belum bisa lepas dari mereka.
Aku membuka lemariku aku lihat foto kita berdelapan terpampang disudut lemari, ah tak terasa sudah tiga tahun lamanya setelah wisuda. Bagaimana kabar mereka? Aku minggu ini akan ujian tesisku akankah mereka datang menyambutku, iya tujuanku kuliah di Eropa akhirnya tercapai dan kini aku pun harus mempersiapkan tesku minggu ini. Jauh di Sukabumi sana Asnan telah berhasil membangun desanya lebih modern lagi cahaya listrik kini telah menghiasi tiap-tiap rumah dan itu merupakan karya Asnan. Eh siapa itu disebelahnya? Menggelayut mesra di tangan Asnan. Ternyata itu Lidya yang merangkul Asnan dari Belakang. Ternyata di komplotan kita ada dua insan yang saling memendam rasa. Aku bahagia sekali kedua temanku ini akhirnya bisa bersama untuk selamanya.
Bagaimana dengan teman-temanku yang lainnya? Wah itu Fiki dia kini membesarkan restoran ayahnya lebih besar lagi. Kemudian si Obik yang kini telah hidup bahagia dengan suaminya yang konglomerat itu. Aku kira itu cita-cita Lidya namun apa daya meleset ke Obik. Kemudian itu Udin, dia kini sukses bekerja di perusahaan favoritnya. Kemudian Wardah yang kini menetap di asrama bersama suaminya. Lalu Pasya yang menjadi bos besar di Pasya Resto.
Begitulah teman akhir dari sebuah pertemanan kami, pada akhirnya kami hidup bahagia dengan hidup kami masing-masing. Aku pun tersadar bahwa kisah ini memang harus dikenang. Menjadi kisah sejarah bahwa dahulu di bumi ini pernah hadir sekomplotan orang yang saling mengasihi dan membuktikan bahwa mereka lah reflika sosial kehidupan yang benar-benar ada di muka bumi ini.